Senin, 24 Oktober 2011

pilsafat


[filsafat] Alam dan Kehidupan

 
sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com
 
Manusia yang berfungsi daya nalarnya (akalnya) selain mengenali
dirinya sendiri, ia sudah dapat mengenal lingkungannya. Orang-orang
yang ada di sekitarnya, demikian pula benda-benda dan
peristiwa-peristiwa yang dapat ia lihat dan rasakan, semua itu
membentuk dalam benaknya konsep "alam" dan "kehidupan". Konsep ini
berkembang menuju suatu kesempurnaan melalui ajaran kepercayaan atau
agama yang dianut masyarakatnya terutama orang tuanya, dan melalui
pendidikan dan penga¬jaran yang diterimanya kemudian.
 
Dewasa ini pengetahuan manusia tentang "alam" sudah sangat luas, dan
ilmu serta teknologi sudah sedemikian majunya, seakan-akan manusia
sudah mampu menguasai alam raya dengan keberhasilannya menerobos
angkasa luar dan memecahkan atom, seandainya tiada gempa bumi hebat
yang mengguncang Armenia, angin taufan dahsyat yang menyapu
pantai-pantai Amerika dan Jepang, banjir-banjir besar yang melanda
Anak Benua India, dan lain-lain bencana alam dan penyakit-penyakit
aneh seperti AIDS yang semua itu mempertunjukkan kelemahan kekuasaan
dan keterbatasan pengetahuan manusia itu. Sejauh perkem¬bangan yang
sudah begitu majunya, kehidupan manusia tetap saja menjadi masalah
misterius seperti sediakala.
 
Alam raya ini, yang sukar digambarkan luasnya dan banyaknya, serta
makhluk manusia yang sangat menonjol di antara seluruh makhluk yang
mengisi alam raya ini, sudah menjalani proses kehidupan sekian kurun
waktu lamanya sehingga sukar digambarkan dengan bilangan abad atau
diukur dengan tahun cahaya.
 
Manusia yang mempunyai kemampuan tinggi untuk menalar dengan akalnya
sudah cukup banyak mengetahui proses kehidupan itu, sekalipun mereka
tidak mampu mengetahui hakekat dari kehidupan itu sendiri. Di dalam
pengetahuan manusia yang begitu luas dan berkembang terus, minat untuk
mengetahui pangkal dan ujung (mabda' dan ma'ad) kehidupan itu, kurang
seimbang dengan minat dan upaya mengetahui proses kehidupan itu.
Sehingga pada umumnya pengetahuan manusia itu menjadi pincang dan
tidak utuh. Upaya mengetahui proses kehidupan yang berkembang
sepanjang sejarah peradaban manusia, telah mengantarkan manusia
mengenal adanya hukum-hukum yang pasti dan teliti menguasai alam raya ini.
 
Gambaran yang nyata dari pengetahuan ini terlihat dengan jelas dalam
ilmu-ilmu fisika, kimia, biologi dan astronomi. Ilmu-ilmu tersebut
mengungkapkan betapa alam raya ini tercipta secara teratur dan
terkontrol sedemikian teliti dengan hukum-hukum yang pasti. Ilmu
pengetahuan astronomi memperkenalkan betapa teraturnya gerakan
bintang-bintang pada garis edarnya masing-masing.
 
Bumi tempat kita hidup, yang berputar pada sumbunya dan beredar pada
orbitnya di sekeliling matahari dalam jangka waktu tertentu dan pasti
menyebabkan silih bergantinya siang dan malam, dan bertukarnya satu
musim ke musim yang lain dengan sangat teratur, semuanya berjalan
secara eksakta (tepat) dan dapat dihitung secara matematik.
Selanjutnya ilmu pengetahuan alam memperkenalkan adanya hukum fisika,
kimia, serta biologi, seperti hukum propors, hukum konservasi, hukum
gerak, hukum gravitasi, hukum relativitas, hukum Pascal, kode genetik,
hukum reproduksi dan embriologi.
 
Penemuan hukum-hukum alam (natuurwet) sebagaimana disinggung di atas
memberikan informasi yang jelas betapa alam raya ini mulai dari
bagian-bagiannya yang terkecil seperti partikel-partikel dalam inti
atom yang sukar dibayangkan kecilnya sampai kepada galaksi-galaksi
yang tak terbayangkan besar dan luasnya, semua bergerak menurut
ketentuan-ketentuan hukum alam yang mengaturnya. Dan yang lebih dekat
dapat diamati ialah pada tubuh jasmani kita sendiri. Ilmu pengetahuan
mengungkapkan bahwa tubuh manusia terdiri dari 50 juta sel, jumlah
panjang jaringan pembuluh darahnya sampai 100.000 km dan lebih 500
macam proses kimiawi terjadi di dalam hati.
 
Tubuh manusia jauh lebih rumit dan lebih menakjubkan daripada pesawat
kom¬puter. Fungsi-fungsi tubuh yang tidak tampak, lebih mengesankan
lagi. Tanpa kita sadari tubuh mengatur suhu badan kita, tekanan darah
kita, pencernaan dan tugas-tugas lain yang tidak terbilang banyaknya.
Pusat pengatur tubuh, yakni otak, memiliki daya rekam dan kemampuan
menyimpan lebih banyak informasi dibandingkan dengan pesawat apapun.
Organ-organ tubuh itu bekerja secara otomatis di luar kehendak dan
pengetahuan kita. Peredaran darah, paru-paru, jantung, ginjal dan
pernafasan terus bekerja secara rutin dengan teliti, meskipun tidak
diperintahkan sang manusia itu sendiri. Bahkan mungkin sekali ia tidak
mengetahui betapa sibuknya organ-organ tubuh itu melaksanakan tugasnya
masing-masing, demi kelangsungan hidup manusia.
 
Perkembangan mutakhir dari ilmu pengetahuan, yang ditandai dengan
lahirnya ilmu-ilmu sosial, bermuara kepada suatu kesimpulan yang sama,
bahwa manusia dan masyarakatnya dikuasai juga oleh hukum-hukum yang
teliti dan pasti, tidak ada bedanya dengan alam di luar manusia.
Ilmu-ilmu ini mengungkapkan bahwa kehidupan dan perilaku manusia
diatur oleh ketentuan-ketentuan yang ada di luar kemauan manusia itu,
seperti hukum-hukum ekologi (pengaruh lingkungan), dorongan naluriah,
warisan genetik, kekuatan supranatural, dan hukum sejarah.
 
Di balik penemuan-penemuan ilmiah tersebut di atas muncul suatu teori
ilmiah baru yang disebut "deteminisme ilmiah" (al-jabriyah
al-`ilmiyah) yang melukiskan manusia sebagai pion-pion nasib (sesuatu
yang sudah ditentukan semula). Stoicisme melihat bahwa manusia bahkan
seluruh alam telah ditentukan secara rasional oleh akal universal (ini
istilah filsafat yang berarti kekuatan yang merupakan sumber
pengaturan alam semesta). Menurut teori ini, tugas manusia hanyalah
memahami dan menempatkan dirinya dalam kerangka akal universal tersebut.
 
Adanya sejumlah ketentuan yang pasti dan berlaku sebagai hukum yang
mengatur segala makhluk dan gerak di alam raya ini, biasanya dalam
bahasa ilmu pengetahuan disebut `natuurwet' atau hukum alam. Di dalam
bahasa Al¬quran, kadangkala disebut "sunnatullah" seperti dalam surat
al-Fathir ayat 43: Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat
pergantian bagi sunnatullah itu dan sekali-kali kamu tidak pula
menemui penyimpangan dari sunnatullah itu.
 
Dalam terminologi teologi, hal semacam itu termasuk dalam kategori
qadha dan qadar (takdir). Namun istilah ini lebih mendominasi hal-hal
yang bersangkutan dengan perilaku manusia, dan seringkali secara
kurang hati-hati dianggap identik dengan faham Jabariah (teori
determinisme).
 
 
sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com
 
 
Salam Cinta,
agussyafii
 
Sekiranya berkenan mohon kirimkan komentar anda melalui
[EMAIL PROTECTED] atau http://mubarok-institute.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar