Selasa, 26 April 2011

penciptaan manusia


Penciptaan manusia dan aspek-aspeknya itu ditegaskan dalam banyak ayat. Beberapa informasi di dalam ayat-ayat ini sedemikian rinci. Beberapa di antaranya sebagai berikut:
1.      Manusia tidak diciptakan dari mani yang lengkap, tetapi dari sebagian kecilnya (spermazoa).
2.      Sel kelamin laki-lakilah yang menentukan jenis kelamin bayi.
3.      Janin manusia melekat pada rahim sang ibu bagaikan lintah.
4.      Manusia berkembang di tiga kawasan yang gelap di dalam rahim.

Penjelasan :
Setetes Mani
Sebelum proses fertilisasi (baca : pembuahan) terjadi, 250 juta sperma terpancar dari si laki-laki pada satu waktu dan menuju sel telur yang jumlahnya hanya satu setiap siklusnya (hanya satu loh :p ). Sperma-sperma melakukan perjalanan yang sulit di tubuh si ibu sampai menuju sel telur karena saluran reproduksi wanita yang berbelok2, kadar keasaman yang tidak sesuai dengan sperma, gerakan ‘menyapu’ dari dalam saluran reproduksi wanita, dan juga gaya gravitasi yang berlawanan (lihat? susah tauu sperma ketemu sel telur. makanya orang yang aborsi itu PARAH banget dosanya dan ga bersyukurnya!)

Nah, Hanya seribu dari 250 juta sperma yang berhasil mencapai sel telur. Sel telur, hanya akan membolehkan masuk SATU sperma saja (persaingan ketat, kawan :p). Setelah masuk dan terjadi fertilisasi pun,,belum tentu si zygot ini (bahasa biologinya : konseptus) menempel di tempat yang tepat di rahim. kemungkinan salahnya banyak loh. dan sekali salah, bisa berbahaya buat ibunya.
Alhamdulillah kita masih normal dan mungkin mamah kita ga mengalami gangguan pada masalah itu, maka, bersyukurlah teman :)
Dari uraian di atas,,terlihat bahwa bahan manusia bukan mani seluruhnya, melainkan hanya sebagian kecil darinya.


Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an :
“Apakah manusia mengira akan dibiarkan tak terurus? Bukankah ia hanya setitik mani yang dipancarkan?” (QS Al Qiyamah:36-37)
Seperti yang telah kita amati, Al-Qur’an memberi tahu kita bahwa manusia tidak terbuat dari mani selengkapnya, tetapi hanya bagian kecil darinya. manusia juga terbuat dari sel telur ibunya. Bahwa tekanan khusus dalam pernyataan ini mengumumkan suatu fakta yang baru ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern itu merupakan bukti bahwa pernyataan tersebut berasal dari Ilahi.

.Segumpal Darah Yang Melekat di Rahim.
Ketika sperma dari laki-laki bergabung dengan sel telur wanita,terbentuk sebuah sel tunggal. Sel tunggal yang dikenal sebagai “zigot” dalam ilmu biologi ini akan segera berkembang biak dengan membelah diri hingga akhirnya menjadi “segumpal daging”. Tentu saja hal ini hanya dapat dilihat oleh manusia dengan bantuan mikroskop. dan jangan dikira prosesnya simpel dan mudah. prosesnya kompleks dan kritis, teman! di setiap proses pembelahannya, kalo sampe ada kesalahan kecil sedikiiit aja pas tahap2 tertentu,, fetus bisa mengalami kecacatan..
lanjut lagi, ya.
Tapi, zigot tersebut tidak melewatkan tahap pertumbuhannya begitu saja. Ia melekat pada dinding rahim seperti akar yang kokoh menancap di bumi dengan carangnya. Kenal istilah plasenta kan?? nah, tempat menempelnya embryo dengan rahim ibu itu disebut plasenta..
Melalui hubungan semacam ini, zigot mampu mendapatkan zat-zat penting dari tubuh sang ibu bagi pertumbuhannya (Moore, Keith L., E. Marshall Johnson, T. V. N. Persaud, Gerald C. Goeringer, Abdul-Majeed A. Zindani, and Mustafa A. Ahmed, 1992, Human Development as Described in the Qur’an and Sunnah, Makkah, Commission on Scientific Signs of the Qur’an and Sunnah, s. 36). jadi ungkapan anak adalah darah dan daging bapak ibunya itu sangat benar sekali. karena bener2 nempel di daging ibu, dan dapet darah dari ibu..
Di sini, pada bagian ini, satu keajaiban penting dari Al Qur’an terungkap. Saat merujuk pada zigot yang sedang tumbuh dalam rahim ibu, Allah menggunakan kata “‘alaq” dalam Al Qur’an:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq (segumpal darah). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah.” (QS Al ‘Alaq:1-3)
Arti kata “‘alaq” dalam bahasa Arab adalah “sesuatu yang menempel pada suatu tempat”. Kata ini secara harfiah digunakan untuk menggambarkan lintah yang menempel pada tubuh untuk menghisap darah.

Pembungkusan Tulang oleh Otot
Sisi penting lain tentang informasi yang disebutkan dalam ayat-ayat Al Qur’an adalah tahap-tahap pembentukan manusia dalam rahim ibu. Disebutkan dalam ayat tersebut bahwa dalam rahim ibu, mulanya tulang-tulang terbentuk, dan selanjutnya terbentuklah otot yang membungkus tulang-tulang ini.
“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik” (QS Al Mu’minun:14)
Embriologi adalah cabang ilmu yang mempelajari perkembangan embrio dalam rahim ibu. Hingga akhir-akhir ini, para ahli embriologi beranggapan bahwa tulang dan otot dalam embrio terbentuk secara bersamaan. Karenanya, sejak lama banyak orang yang menyatakan bahwa ayat ini bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Namun, penelitian canggih dengan mikroskop yang dilakukan dengan menggunakan perkembangan teknologi baru telah mengungkap bahwa pernyataan Al Qur’an adalah benar kata demi katanya.
Penelitian di tingkat mikroskopis ini menunjukkan bahwa perkembangan dalam rahim ibu terjadi dengan cara persis seperti yang digambarkan dalam ayat tersebut. Pertama, jaringan tulang rawan embrio mulai mengeras. Kemudian sel-sel otot yang terpilih dari jaringan di sekitar tulang-tulang bergabung dan membungkus tulang-tulang ini.
Peristiwa ini digambarkan dalam sebuah terbitan ilmiah dengan kalimat berikut:
Dalam minggu ketujuh, rangka mulai tersebar ke seluruh tubuh dan tulang-tulang mencapai bentuknya yang kita kenal. Pada akhir minggu ketujuh dan selama minggu kedelapan, otot-otot menempati posisinya di sekeliling bentukan tulang. (Moore, Developing Human, 6. edition,1998.)

Tiga Tahapan Bayi Dalam Rahim
Dalam Al Qur’an dipaparkan bahwa manusia diciptakan melalui tiga tahapan dalam rahim ibunya.
“… Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?” (Al Qur’an, 39:6)
Sebagaimana yang akan dipahami, dalam ayat ini ditunjukkan bahwa seorang manusia diciptakan dalam tubuh ibunya dalam tiga tahapan yang berbeda. Sungguh, biologi modern telah mengungkap bahwa pembentukan embrio pada bayi terjadi dalam tiga tempat yang berbeda dalam rahim ibu. Sekarang, di semua buku pelajaran embriologi yang dipakai di berbagai fakultas kedokteran, hal ini dijadikan sebagai pengetahuan dasar. Misalnya, dalam buku Basic Human Embryology, sebuah buku referensi utama dalam bidang embriologi, fakta ini diuraikan sebagai berikut:
“Kehidupan dalam rahim memiliki tiga tahapan: pre-embrionik; dua setengah minggu pertama, embrionik; sampai akhir minggu ke delapan, dan janin; dari minggu ke delapan sampai kelahiran.” (Williams P., Basic Human Embryology, 3. edition, 1984, s. 64.)
Fase-fase ini mengacu pada tahap-tahap yang berbeda dari perkembangan seorang bayi. Ringkasnya, ciri-ciri tahap perkembangan bayi dalam rahim adalah sebagaimana berikut:
a.       Tahap Pre-embrionik
Pada tahap pertama, zigot tumbuh membesar melalui pembelahan sel, dan terbentuklah segumpalan sel yang kemudian membenamkan diri pada dinding rahim. Seiring pertumbuhan zigot yang semakin membesar, sel-sel penyusunnya pun mengatur diri mereka sendiri guna membentuk tiga lapisan (bahasa biologinya disebut lapisan lembaga ektoderm, mesoderm, endoderm :p)
b.      Tahap Embrionik
Tahap kedua ini berlangsung selama lima setengah minggu. Pada masa ini bayi disebut sebagai “embrio”. Pada tahap ini, organ dan sistem tubuh bayi mulai terbentuk dari lapisan- lapisan sel tersebut. pada tahap ini juga terjadi pembentukan organ2 tubuh. dan pengaturan posisi, sumbu tubuh, dan pembentukan tubuh. pernah nyadar ga kalo kita, manusia itu, sebelum tahap ini adalah sebuah KEPING ! jadi ga keping lagi ya karena adanya tahap2 ini.. :)
c.       Tahap fetus
Dimulai dari tahap ini dan seterusnya, bayi disebut sebagai “fetus”. Tahap ini dimulai sejak kehamilan bulan kedelapan dan berakhir hingga masa kelahiran. Ciri khusus tahapan ini adalah terlihatnya fetus menyerupai manusia, dengan wajah, kedua tangan dan kakinya. Meskipun pada awalnya memiliki panjang 3 cm, kesemua organnya telah nampak. Tahap ini berlangsung selama kurang lebih 30 minggu, dan perkembangan berlanjut hingga minggu kelahiran.

Yang Menentukan Jenis Kelamin Bayi
“Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita, dari air mani, apabila dipancarkan.” (QS An Najm:45-46)
Cabang-cabang ilmu pengetahuan yang berkembang seperti genetika dan biologi molekuler telah membenarkan secara ilmiah ketepatan informasi yang diberikan Al Qur’an ini. Kini diketahui bahwa jenis kelamin ditentukan oleh sel-sel sperma dari tubuh pria, dan bahwa wanita tidak berperan dalam proses penentuan jenis kelamin ini.
Kromosom adalah unsur utama dalam penentuan jenis kelamin. Dua dari 46 kromosom yang menentukan bentuk seorang manusia diketahui sebagai kromosom kelamin. Dua kromosom ini disebut “XY” pada pria, dan “XX” pada wanita. Penamaan ini didasarkan pada bentuk kromosom tersebut yang menyerupai bentuk huruf-huruf ini. Kromosom Y membawa gen-gen yang mengkode sifat-sifat kelelakian, sedangkan kromosom X membawa gen-gen yang mengkode sifat-sifat kewanitaan.
Pembentukan seorang manusia baru berawal dari penggabungan silang salah satu dari kromosom ini, yang pada pria dan wanita ada dalam keadaan berpasangan. Pada wanita, kedua bagian sel kelamin, yang membelah menjadi dua selama peristiwa ovulasi, membawa kromosom X. Sebaliknya, sel kelamin seorang pria menghasilkan dua sel sperma yang berbeda, satu berisi kromosom X, dan yang lainnya berisi kromosom Y. Jika satu sel telur berkromosom X dari wanita ini bergabung dengan sperma yang membawa kromosom Y, maka bayi yang akan lahir berjenis kelamin pria.
Dengan kata lain, jenis kelamin bayi ditentukan oleh jenis kromosom mana dari pria yang bergabung dengan sel telur wanita.

Saripati Tanah dalam Campuran Air Mani
Cairan yang disebut mani tidak mengandung sperma saja. Cairan ini justru tersusun dari campuran berbagai cairan yang berlainan. Cairan-cairan ini mempunyai fungsi-fungsi semisal mengandung gula yang diperlukan untuk menyediakan energi bagi sperma, menetralkan asam di pintu masuk rahim, dan melicinkan lingkungan agar memudahkan pergerakan sperma.
Yang cukup menarik, ketika mani disinggung di Al-Qur’an, fakta ini, yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern, juga menunjukkan bahwa mani itu ditetapkan sebagai cairan campuran:
“Sungguh, Kami ciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, lalu Kami beri dia (anugerah) pendengaran dan penglihatan.” (Al Qur’an, 76:2)
Di ayat lain, mani lagi-lagi disebut sebagai campuran dan ditekankan bahwa manusia diciptakan dari “bahan campuran” ini:
“Dialah Yang menciptakan segalanya dengan sebaik-baiknya, Dia mulai menciptakan manusia dari tanah liat. Kemudian Ia menjadikan keturunannya dari sari air yang hina.” (Al Qur’an, 32:7-8)
Kata Arab “sulala”, yang diterjemahkan sebagai “sari”, berarti bagian yang mendasar atau terbaik dari sesuatu. Dengan kata lain, ini berarti “bagian dari suatu kesatuan”. Ini menunjukkan bahwa Al Qur’an merupakan firman dari Yang Berkehendak Yang mengetahui penciptaan manusia hingga serinci-rincinya. Yang Berkehendak ini ialah Pencipta manusia.
sumber : http://alhayaat.wordpress.com/2009/05/28/proses-penciptaan-manusia-menurut-islam-dan-iptek/

Senin, 18 April 2011

peradaban islam di Indonesia


*PERADABAN ISLAM DI INDONESIA*

A. Proses Masuknya Islam di Asia Tenggara
Islam masuk ke Asia Tenggara disebarluaskan melalui kegiatan kaum pedagang dan para sufi. Hal ini berbeda dengan daerah Islam di Dunia lainnya yang disebarluaskan melalui penaklulan Arab dan Turki. Islam masuk di Asia Tenggara dengan jalan damai, terbuka dan tanpa pemaksaan sehingga Islam sangat mudah diterima masyarakat Asia Tenggara.
Mengenai kedatangan Islam di negara-negara yang ada di Asia Tenggara hampir semuanya didahului oleh interaksi antara masyarakat di wilayah kepulauan dengan para pedagang Arab, India, Bengal, Cina, Gujarat, Iran, Yaman dan Arabia Selatan. Pada abad ke-5 Masehi Kepulauan Melayu telah menjadi tempat persinggahan para pedagang yang berlayar ke Cina dan mereka telah menjalin hubungan dengan masyarakat sekitar Pesisir. Kondisi semacam inilah yang dimanfaatkan para pedagang Muslim yang singgah untuk menyebarkan Islam pada warga sekitar pesisir.
Menurut Uka Tjandra Sasmita, prorses masukya Islam ke Asia Tenggara yang berkembang ada enam, yaitu:

1.      Saluran Perdagangan
Pada taraf permulaan, proses masuknya Islam adalah melalui perdagangan. Kesibukan lalu-lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 membuat pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian Barat, Tenggara dan Timur Benua Asia. Saluran Islamisasi melaui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Mereka berhasil mendirikan masjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi banyak, dan karenanya anak-anak Muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya-kaya. Di beberapa tempat penguasa-penguasa Jawa yang menjabat sebagai Bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir Utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan karena hanya faktor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi karena factor hubungan ekonomi drengan pedagang-rpedrarrgarng Muslim.
Perkembangan selanjutnya mereka kemudian mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di tempat-tempat tinggalnya.

2. Saluran Perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedagang Muslim memiliki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi terutama puteri-puteri bangsawan, tertarik untuk menjadi isteri saudagar-saudagar itu. Sebelum dikawin mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan, lingkungan mereka makin luas, akhirnya timbul kampung-kampung, daerah-daerah dan kerajaan Muslim.
Dalam perkembangan berikutnya, ada pula wanita Muslim yang dikawini oleh keturunan bangsawan; tentu saja setelah mereka masuk Islam terlebih dahulu. Jalur perkawinan ini jauh lebih menguntungkan apabila antara saudagar Muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak adipati, karena raja dan adipati atau bangsawan itu kemudian turut mempercepat proses Islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat atau sunan Ampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan puteri Kawunganten, Brawijaya dengan puteri Campa yang mempunyai keturunan Raden Patah (Raja pertama Demak) dan lain-lain.
3. Saluran Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi mengajarkan teosofi yang bercampur dengana jaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka juga ada yang mengawini puteri-puteri bangsawab setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Diantara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syekh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih dikembangkan di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M ini.

4. Saluran Pendidikan
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai dan ulama. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing atau berdakwak ketempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden rahmat di Ampel Denta Surabaya, dan Sunan Giri di Giri. Kleuaran pesantren ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan Agama Islam.

5. Saluran Kesenian
Saluran Islamisasi melaui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam serita itu di sisipkan ajaran nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lainnya juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad dan sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.

6. Saluran Politik
Di Maluku dan Sulawesi selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik di Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia Bagian Timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.
Untuk lebih memperjelas bagaimana proses masuknya agama Islam di Asia Tenggara ini, ada 3 teori diharapkan dapat membantu memperjelas tentang penerimaan Islam yang sebenarnya:
a)      Menekankan peran kaum pedagang yang telah melembagakan diri mereka di beberapa wilayah pesisir lndonesia, dan wilayah Asia Tenggara yang lain yang kemudian melakukan asimilasi dengan jalan menikah dengan beberapa keluarga penguasa local yang telah menyumbangkan peran diplomatik, dan pengalaman lnternasional terhadap perusahaan perdagangan para penguasa pesisir. Kelompok pertama yang memeluk agama lslam adalah dari penguasa lokal yang berusaha menarik simpati lalu-lintas Muslim dan menjadi persekutuan dalam bersaing menghadapi pedagang-pedagang Hindu dari Jawa. Beberapa tokoh di wilayah pesisir tersebut menjadikan konversi ke agama lslam untuk melegitimasi perlawanan mereka terhadap otoritas Majapahit dan untuk melepaskan diri dari pemerintahan beberapa lmperium wilayah tengah Jawa.
b)      Menekankan peran kaum misionari dari Gujarat, Bengal dan Arabia. Kedatangan para sufi bukan hanya sebagai guru tetapi sekaligus juga sebagai pedagang dan politisi yang memasuki lingkungan istana para penguasa, perkampungan kaum pedagang, dan memasuki perkampungan di wilayah pedalaman. Mereka mampu mengkomunikasikan visi agama mereka dalam bentuknya, yang sesuai dengan keyakinan yang telah berkembang di wilayah Asia Tenggara. Dengan demikian dimungkinkan bahwa masuknya Islam ke Asia Tenggara agaknya tidak lepas dengan kultur daerah setempat.
c)      Lebih menekankan makna lslam bagi masyarakat umum dari pada bagi kalangan elite pemerintah. Islam telah menyumbang sebuah landasan ldeologis bagi kebajikan lndividual, bagi solidaritas kaum tani dan komunitas pedagang, dan bagi lntegrasi kelompok parochial yang lebih kecil menjadi masyarakat yang lebih besar (Lapidus, 1999:720-721). Agaknya ketiga teori tersebut bisa jadi semuanya berlaku, sekalipun dalam kondisi yang berbeda antara satu daerah dengan yang lainnya. Tidak terdapat proses tunggal atau sumber tunggal bagi penyebaran lslam di Asia Tenggara, namun para pedagang dan kaum sufi pengembara, pengaruh para murid, dan penyebaran berbagai sekolah agaknya merupakan faktor penyebaran lslam yang sangat penting.

B. Penyebaran Islam di Asia Tenggara dan Indonesia
Sejak abad pertama, kawasan laut Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka sudah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan internasional yang dapat menghubungkan negeri-negeri di Asia Timur Jauh, Asia Tenggara dan Asia Barat. Perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional yang terbentang jauh dari Teluk Persia sampai China melalui Selat Malaka itu kelihatan sejalan pula dengan muncul dan berkembangnya kekuasaan besar, yaitu China dibawah Dinasti Tang (618-907), kerajaan Sriwijaya (abad ke-7-14), dan Dinasti Umayyah (660-749).
Mulai abad ke-7 dan ke-8 (abad ke-1 dan ke-2 H), orang Muslim Persia dan Arab sudah turut serta dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan sampai ke negeri China. Pada masa pemerintahan Tai Tsung (627-650) kaisar ke-2 dari Dinasti Tang, telah dating empat orang Muslim dari jazirah Arabia. Yang pertama, bertempat di Canton (Guangzhou), yang kedua menetap dikota Chow, yang ketiga dan keempat bermukim di Coang Chow. Orang Muslim pertama, Sa’ad bin Abi Waqqas, adalah seorang muballigh dan sahabat Nabi Muhammad SAW dalam sejarah Islam di China. Ia bukan saja mendirikan masjid di Canto, yang disebut masjid Wa-Zhin-Zi (masjid kenangan atas nabi).
Karena itu, sampai sekarang kaum Muslim China membanggakan sejarah perkembangan Islam di negeri mereka, yang dibawa langsung oleh sahabat dekat Nabi Muhammad SAW sendiri, sejak abad ke-7 dan sesudahnya. Makin banyak orang Muslim berdatangan ke negeri China baik sebagai pedagang maupun mubaligh yang secara khusus melakukan penyebaran Islam. Sejak abad ke-7 dan abad selanjutnya Islam telah datang di daerah bagian Timur Asia, yaitu di negeri China, khususnya China Selatan. Namun ini menimbulkan pertanyaan tentang kedatangan Islam di daerah Asia Tenggara. Sebagaimana dikemukakan diatas Selat Malaka sejak abad tersebut sudah mempunyai kedudukan penting. Karena itu, boleh jadi para pedagang dan munaligh Arab dan Persia yang sampai di China Selatan juga menempuh pelayaran melalui Selat Malaka. Kedatangan Islam di Asia Tenggara dapat dihubungkan dengan pemberitaan dari I-Cing, seorang musafir Budha, yang mengadakan perjalanan dengan kapal yang di sebutnya kapal Po-Sse di Canton pada tahun 671. Ia kemudian berlayar menuju arah selatan ke Bhoga (di duga daerah Palembang di Sumatera Selatan). Selain pemberitaan tersebut, dalam Hsin-Ting-Shu dari masa Dinasti yang terdapat laporan yang menceritakan orang Ta-Shih mempunyai niat untuk menyerang kerajaan Ho-Ling di bawah pemerintahan Ratu Sima (674).
Dari sumber tersebut, ada dua sebutan yaitu Po-Sse dan Ta-Shih. Menurut beberapa ahli, yang dimaksud dengan Po-Sse adalah Persia dan yang dimaksud dengan Ta-Shih adalah Arab. Jadi jelaslah bahwa orang Persia dan Arab sudah hadir di Asia Tenggara sejak abad-7 dengan membawa ajaran Islam.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah tentang tempat orang Ta Shih. Ada yang menyebut bahwa mereka berada di Pesisir Barat Sumatera atau di Palembang. Namun adapula yang memperkirakannya di Kuala Barang di daerah Terengganu. Terlepas dari beda pendapat ini, jelas bahwa tempat tersebut berada di bagian Barat Asia Tenggara. Juga ada pemberitaan China (sekitar tahun 758) dari Hikayat Dinasti Tang yang melaporkan peristiwa pemberontakan yang dilakukan orang Ta-Shih dan Po-Se. Mereka mersak dan membakar kota Canton (Guangzhoo) untuk membantu kaum petani melawan pemerintahan Kaisar Hitsung (878-899).
Setelah melakukan perusakan dan pembakaran kota Canton itu, orang Ta-Shih dan Po-Se menyingkir dengan kapal. Mereka ke Kedah dan Palembang untuk meminta perlindungan dari kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan berita ini terlihat bahwa orang Arab dan Persia yang sudah merupakan komunitas Muslim itu mampu melakukan kegiatan politik dan perlawanan terhadap penguasa China. Ada beberapa pendapat dari para ahli sejarah mengenai masuknya Islam ke Indonesia :
1.        Menurut Zainal Arifin Abbas, Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M (684 M). Pada tahun tersebut datang seorang pemimpin Arab ke Tiongkok dan sudah mempunyai pengikut dari Sumatera Utara. Jadi, agama Islam masuk pertama kali ke Indonesia di Sumatera Utara.
2.        Menurut Dr. Hamka, Agama Islam masuk ke Indonesia pada tahun 674 M. Berdasarkan catatan Tiongkok , saat itu datang seorang utusan raja Arab Ta Cheh (kemungkinan Muawiyah bin Abu Sufyan) ke Kerajaan Ho Ling (Kaling/Kalingga) untuk membuktikan keadilan, kemakmuran dan keamanan pemerintah Ratu Shima di Jawa.
3.        Menurut Drs. Juneid Parinduri, Agama Islam masuk ke Indonesia pada tahun 670 M karena di Barus Tapanuli, didapatkan sebuah makam yang berangka Haa-Miim yang berarti tahun 670 M.
4.        Seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia di Medan tanggal 17-20 Maret 1963, mengambil kesimpulan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad I H/abad 7 M langsung dari Arab. Daerah pertama yang didatangi ialah pasisir Sumatera.
Sedangkan perkembangan Agama Islam di Indonesia sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di bagi menjadi tiga fase, antara lain :
1.        Singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Sumbernya adalah berita luar negeri, terutama Cina;
2.        Adanya komunitas-komunitas Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia. Sumbernya di samping berita-berita asing juga makam-makam Islam;
3.        Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam (Abdullah, 1991:39).

C. Perkembangan Keagamaan dan Peradaban
Sebagaimana telah diuraikan di atas, pada term penyebaran Islam di Asia Tenggara yang tidak terlepas dari kaum pedagang Muslim. Hingga kontrol ekonomi pun di monopoli oleh mereka. Disamping itu pengaruh ajaran Islam sendiripun telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan Masyarakat Asia Tenggara. Islam mentransformasikan budaya masyarakat yang telah di-Islamkan di kawasan ini, secara bertahap. Islam dan etos yang lahir darinya muncul sebagai dasar kebudayaan.
Namun dari masyarakat yang telah di-Islamkan dengan sedikit muatan lokal. Islamisasi dari kawasan Asia Tenggara ini membawa persamaan di bidang pendidikan. Pendidikan tidak lagi menjadi hak istimewa kaum bangsawan. Tradisi pendidikan Islam melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Setiap Muslim diharapkan mampu membaca al Qur’an dan memahami asas-asas Islam secara rasional dan dan dengan belajar huruf Arab diperkenalkan dan digunakan di seluruh wilayah dari Aceh hingga Mindanao. Bahasa-bahasa lokal diperluasnya dengan kosa-kata dan gaya bahasa Arab. Bahasa Melayu secara khusus dipergunakan sebagai bahasa sehari-hari di Asia Tenggara dan menjadi media pengajaran agama. Bahasa Melayu juga punya peran yang penting bagi pemersatu seluruh wilayah itu.
Sejumlah karya bermutu di bidang teologi, hukum, sastra dan sejarah, segera bermunculan. Banyak daerah di wilayah ini seperti Pasai, Malaka dan Aceh juga Pattani muncul sebagai pusat pengajaran agama yang menjadi daya tarik para pelajar dari sejumlah penjuru wilayah ini.
System pendidikan Islam kemudian segera di rancang. Dalam banyak batas, Masjid atau Surau menjadi lembaga pusat pengajaran. Namun beberapa lembaga seperti pesantren di Jawa dan pondok di Semenanjung Melaya segera berdiri. Hubungan dengan pusat-pusat pendidikan di Dunia Islam segera di bina. Tradisi pengajaran Paripatetis yang mendahului kedatangan Islam di wilayah ini tetap berlangsung. Ibadah Haji ke Tanah Suci di selenggarakan, dan ikatan emosional, spritual, psikologis, dan intelektual dengan kaum Muslim Timur Tengah segera terjalin. Lebih dari itu arus imigrasi masyarakat Arab ke wilayah ini semakin deras.
Di bawah bimbingan para ulama Arab dan dukungan negara, wilayah ini melahirkan ulama-ulama pribumi yang segera mengambil kepemimpinan lslam di wilayah ini. Semua perkembangan bisa dikatakan karena lslam, kemudian melahirkan pandangan hidup kaum Muslim yang unik di wilayah ini. Sambil tetap memberi penekanan pada keunggulan lslam, pandangan hdup ini juga memungkinkan unsur-unsur lokal masuk dalam pemikiran para ulama pribumi. Mengenai masalah identitas, internalisasi Islam, atau paling tidak aspek luarnya, oleh pendudukan kepulauan membuat Islam muncul sebagai kesatuan yang utuh dari jiwa dan identitas subyektif mereka. Namun fragmentasi politik yang mewarnai wilayah ini, di sisi lain, juga melahirkan perasaan akan perbedaan identitas politik diantara penduduk yang telah di Islamkan.

D. MODERNISME ISLAM DI INDONESIA
Dalam Al-Qur’an terkandung penegasan bahwa kaum Muslimin merupakan “kelompok terbaik di antara manusia” (khaira ummatin ukhrijat li n-naas), dan agama Islam diturunkan Allah “untuk diunggulkan-Nya di atas semua agama” (li yuzh-hirahuu `ala d-diini kullih). Janji Allah di atas terbukti dengan kenyataan bahwa sebagian besar halaman sejarah Islam selama empat belas abad diwarnai oleh kisah ekspansi dan kemenangan. Hanya satu abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, pada pertengahan abad ke-8 kekuasaan Islam membentang dari Spanyol sampai Xinjiang. Meskipun pusat kekhalifahan di Baghdad dihancurkan oleh Mongol pada pertengahan abad ke-13, dengan takdir Allah laskar penakluk ini berduyun-duyun masuk Islam dan menyebarkan agama ini di Rusia, lalu keturunan mereka menegakkan kesultanan Moghul (Mongol) di India dari abad ke-16 sampai abad ke-19. Ketika umat Islam terusir dari Spanyol pada akhir abad ke-15, muncul kesultanan Turki yang menguasai seluruh Semenanjung Balkan sampai awal abad ke-20. Bahkan ketika hegemoni politik Islam mulai redup pada abad ke-17, Islam melalui jalur perdagangan tersebar luas di Asia Tenggara dan pantai timur Afrika.
Pengalaman sejarah tersebut memperkuat keyakinan umat Islam bahwa kemenangan dan kesuksesan itu akan terus dijamin oleh Allah selama mereka berpegang teguh kepada ajaran agama. Jika umat Islam mengalami kekalahan atau kemunduran, mereka segera ingat kepada firman suci bahwa “masa-masa kejayaan dipergilirkan di antara manusia” (tilka l-ayyaamu nudawiluhaa baina n-naas). Ketika roda sejarah sedang berputar ke bawah, di kalangan umat Islam selalu bermunculan tokoh-tokoh yang mengumandangkan seruan “kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi”. Pada masa kelumpuhan peradaban Islam akibat serangan dahsyat bangsa Mongol, terukirlah nama Taqiyuddin Ibn Taimiyyah (1263–1328) yang menyerukan reformasi ajaran agama secara komprehensif. Ibn Taimiyyah menghimbau seluruh ulama untuk mengintegrasikan aspek-aspek teologi (kalam), hukum (fiqh), rasionalitas (falsafah) dan sufisme (tasawuf) menjadi suatu kebulatan ajaran yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Tokoh semacam Ibn Taimiyyah ini dalam terminologi umat Islam disebut "mujaddid" (pembaharu, reformis), dan gerakan atau pemikiran yang dicanangkannya dinamakan "tajdid" (pembaharuan, reformasi). Istilah-istilah tersebut dijabarkan dari sebuah hadits yang memberitakan isyarat Nabi Muhammad SAW bahwa akan muncul orang-orang yang memperbaharui (yujaddidu) agama Islam “pada setiap pangkal seratus tahun” (`alaa kulli ra’si mi’ati sanah). Nama Ibn Taimiyyah sengaja kita sebutkan karena hampir semua tokoh pembaharu yang datang belakangan mengaku sebagai penerus gagasan Ibn Taimiyyah.
Gelombang reformasi atau tajdid yang berdampak luas ke segenap penjuru Dunia Islam, dari Afrika Utara sampai Asia Tenggara, mulai berlangsung pada abad ke-18, tatkala umat Islam kehilangan kreativitas dan tenggelam dalam kebekuan pemikiran, akibat tertutupnya pintu ijtihad oleh institusi-institusi keagamaan yang sudah mapan. Maka bangkitlah para tokoh pembaharu seperti Muhammad ibn Abdul-Wahhab (1703–1792) di Semenanjung Arabia, Syah Waliyullah ad-Dahlawi (1703–1762) di India, dan Muhammad ibn Ali as-Sanusi (1791-1859) di Afrika Utara. Sebagaimana halnya Ibn Taimiyyah lima abad sebelumnya, para pembaharu pada abad ke-18 itu memusatkan gerakan mereka untuk mencairkan “kebekuan internal” yaitu memurnikan tauhid, menentang dominasi mazhab, dan memberantas hal-hal yang dianggap bid`ah. Adapun masalah “ancaman eksternal” tidaklah menjadi fokus pemikiran, sebab sebagian besar Dunia Islam belum tersentuh oleh hegemoni kelompok non-Muslim. Meskipun sejak abad ke-17 bangsa-bangsa Eropa Barat sudah berdatangan sebagai pedagang, penyebar Injil atau prajurit (gold, gospel, glory atau mercenary, missionary, military), kehadiran mereka sampai akhir abad ke-18 tidaklah menggoyahkan tatanan peradaban umat Islam.
Bangsa-bangsa Eropa Barat sebelum abad ke-16 tidaklah pernah memiliki peradaban yang dapat dibanggakan dalam sejarah. Malahan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang-orang Eropa Barat pada abad-abad pertengahan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pada universitas-universitas Muslim di Spanyol dan Sisilia. Berkat perkenalan dan pembelajaran dari peradaban Islam, Eropa Barat terstimulasi untuk bangkit dari suasana kebodohan yang mereka sebut Dark Age (Zaman Kegelapan), menuju masa renaissance (kelahiran kembali) yang bermula pada abad ke-16. Kebangkitan Eropa Barat diawali dengan proses sekularisasi atau penerapan faham sekularisme, yaitu pemisahan agama Nasrani dari pengaturan kehidupan. Dengan demikian masyarakat terbebas dari kungkungan dogma-dogma gereja dan terbukalah pengembangan ilmu pengetahuan melalui penalaran akal. Maka pada abad ke-18 yang dikenal sebagai Masa Pencerahan (Enlightenment), Eropa Barat melahirkan peradaban modern.
Istilah “modern” ini sangat perlu kita fahami. Berasal dari kata Latin modernus yang artinya “baru saja; just now”, pengertian modern mengacu bukan hanya kepada “zaman” (kita mengenal pembagian zaman menjadi zaman purba, zaman pertengahan dan zaman modern), tetapi yang lebih penting mengacu kepada “cara berfikir dan bertindak”. Peradaban modern ditandai oleh dua ciri utama, yaitu rasionalisasi (cara berfikir yang rasional) dan teknikalisasi (cara bertindak yang teknikal). Tumbuhnya sains dan teknologi modern diikuti oleh berbagai inovasi di segenap bidang kehidupan.
Di bidang politik muncul faham nasionalisme, sistem partai dan parlemen, serta pembagian kekuasaan dalam pemerintahan. Di bidang ekonomi lahir berbagai industri, sistem pertukaran barang, serta korporasi bisnis. Di bidang sosial budaya timbul institusi dan cara hidup yang lebih efisien, mulai dari sistem administrasi dan pendidikan sampai kepada pemeliharaan kesehatan dan cara berpakaian. Semua ini ditunjang oleh proses pertukaran ide yang efektif melalui buku cetak dan media massa serta sarana komunikasi dan transportasi yang canggih sebagai buah lezat dari ilmu pengetahuan.
Dengan segala keunggulan peradaban modern, terutama di bidang persenjataan militer, bangsa-bangsa Eropa Barat melakukan ekspansi ke seluruh penjuru bumi, termasuk Dunia Islam. Setelah selama satu alaf (millennium) umat Islam berada di peringkat atas dalam peradaban dunia dan tidak tergoyahkan oleh peradaban manapun, tiba-tiba pada abad ke-19 arus sejarah berubah arah. Daerah-daerah Muslim, dari Maroko sampai Merauke, satu demi satu jatuh ke dalam cengkeraman imperialisme dan kolonialisme Eropa. Indonesia dikuasai Belanda, India dan Malaysia dijajah Inggris, Asia Tengah jatuh ke tangan Rusia, Austria merebut Bosnia-Herzegovina, Italia mencaplok Libia dan Ethiopia, sedangkan sebagian besar Afrika dan Timur Tengah terbagi-bagi ke dalam kekuasaan Inggris dan Perancis. Pada akhir Perang Dunia I tahun 1918, daerah-daerah Muslim yang masih merdeka hanyalah Afghanistan, Iran, Turki, dan Arabia. Untunglah bangsa-bangsa Eropa tidak tertarik kepada daerah Hijaz yang gersang, sehingga terhindarlah kota-kota suci Makkah dan Madinah dari sentuhan hegemoni Eropa.
Dominasi bangsa-bangsa Eropa Barat mengakibatkan tersebarnya peradaban modern di seluruh dunia. Ketika berkenalan dengan peradaban modern, umat Islam sudah terbelenggu dengan pemahaman agama yang merupakan konsensus dan pembakuan para ulama abad pertengahan, sehingga banyak aspek modernitas yang dianggap “haram” dan ditolak mentah-mentah. Sikap ini sangat berbeda dengan sikap kreatif para ulama pada abad-abad permulaan Islam, ketika penafsiran tentang Al-Qur’an dan Sunnah Nabi belum disekat oleh rambu-rambu mazhab. Berdasarkan perintah kitab suci agar para hamba Allah “gemar menginventarisasi ide-ide, lalu mengikuti yang terbaik” (yastami`uuna l-qaula fa yattabi`uuna ahsanah), umat Islam pada masa-masa awal dengan sikap tanpa keraguan dan penuh percaya diri (sebab hegemoni politik di tangan mereka) mengambil dan menyerap nilai-nilai yang dipandang baik dari peradaban-peradaban purba di sekitar Mesopotamia dan Mediterrania, lalu menciptakan Peradaban Islam (Islamic Civilization) selama berabad-abad yang penuh dengan inovasi intelektual, eksperimen ilmiah, monumen yang artistik, dan karya literer yang bermutu tinggi. Sikap broad-minded yang diperintahkan Al-qur’an itu tidak lagi dimiliki kaum Muslimin tatkala berhadapan dengan peradaban modern.
Maka pada akhir abad ke-19 bermunculan tokoh-tokoh pembaharu (mujaddid) yang menyeru umat Islam agar mengambil peradaban modern yang menunjang kemajuan, sebab modernisasi dalam arti yang benar, yaitu yang didasari rasionalisasi dan teknikalisasi, tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam bahkan justru diperintahkan oleh Al-Qur’an! Oleh karena para mujaddid ini bersikap positif terhadap modernitas, mereka oleh para ahli sejarah dijiluki kelompok modernis dan gerakan mereka disebut gerakan Modernis Islam.

Awal Modernisme Islam
Gerakan modernisme Islam pada abad ke-19 dipelopori oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani (1839–1897). Meskipun lahir di Afghanistan, usianya dihabiskan di berbagai bagian Dunia Islam: India, Mesir, Iran, dan Turki. Dia mengembara ke Eropa, dari Saint Petersburg sampai Paris dan London. Di mana pun dia tinggal dan ke mana pun dia pergi, Jamaluddin senantiasa mengumandangkan ide-ide pembaharuan dan modernisasi Islam.
Bersama muridnya, Syaikh Muhammad Abduh (1849–1905) dari Mesir, Jamaluddin pergi ke Paris untuk menerbitkan majalah Al-`Urwah al-Wutsqa (Le Lien Indissoluble), yang berarti “ikatan yang teguh”. Abduh menjadi pemimpin redaksi, dan Jamaluddin menjadi redaktur politik. Nomor perdana terbit 13 Maret 1884 (15 Jumad al-Ula 1301), memuat artikel-artikel dalam bahasa Arab, Perancis, dan Inggris. Terbit setiap Kamis, majalah itu penuh dengan artikel-artikel ilmiah dan mengobarkan semangat umat untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, serta menyerukan perjuangan umat Islam agar terlepas dari belenggu penjajahan Eropa. Majalah Al-`Urwah al-Wutsqa tersebar di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, India, dan kota-kota besar di Eropa. Sayangnya, majalah ini hanya sempat beredar 28 nomor saja dan terpaksa berhenti terbit pada bulan Oktober 1884. Hal ini disebabkan pemerintah kolonial Inggris melarang majalah itu masuk ke Mesir dan India, lalu pemerintah Turki Usmani (yang kuatir akan gagasan jumhuriyah atau republik yang diusulkan Jamaluddin) juga melarangnya beredar di wilayah kekuasaannya, sehingga Al-`Urwah al-Wutsqa kehilangan daerah pemasarannya. Namun dalam masa delapan bulan beredar, majalah Muslim pertama di dunia itu berhasil menanamkan benih-benih modernisasi di kalangan umat Islam.
Gagasan pembaharuan Jamaluddin dan Abduh menjadi lebih tersebar luas di seluruh Dunia Islam, tatkala seorang murid Abduh yang bernama Muhammad Rasyid Ridha (1865–1935) menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir. Nomor pertamanya terbit 17 Maret 1898 (22 Syawwal 1315), dan beredar sampai tahun 1936. Majalah Al-Manar inilah yang secara kongkrit menjabarkan ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta berpengaruh langsung kepada gearkan modernisme Islam di Asia Tenggara pada awal abad ke-20.

a. Singapura
Pembukaan Terusan Suez tahun 1869 menyebabkan rute pelayaran antara Eropa dan Asia Tenggara tidak lagi melalui ujung selatan Afrika melainkan beralih melalui Laut Merah. Akibatnya, kaum Muslimin di Asia Tenggara makin mudah menunaikan ibadah haji melalui pelabuhan Jeddah. Jika pada tahun 1850-an jemaah haji Indonesia rata-rata cuma 1600 orang per tahun, maka jumlah ini menjadi tiga kali lipat pada dasawarsa 1880-an, lalu meningkat menjadi lebih dari 7000 jemaah per tahun pada awal abad ke-20. Selama berada di tanah suci banyak jemaah haji yang berkenalan dan mempelajari gagasan modernisasi Islam, kemudian membawanya pulang untuk disebarkan di kampong halaman.
Sebagian besar jemaah haji Indonesia berangkat ke tanah suci melalui Singapura, kota pelabuhan yang didirikan Thomas Stamford Raffles tahun 1819. Selain karena di Singapura jumlah kapal ke Jeddah lebih banyak dan ongkosnya lebih murah, banyak calon haji yang menetap dahulu di Singapura untuk bekerja mencukupkan biaya ke tanah suci. Memang tidak semuanya berhasil, sehingga timbul sebutan “Haji Singapura” bagi orang-orang yang gagal pergi ke Makkah. Faktor lain yang menyebabkan calon haji Indonesia pergi dari Singapura adalah karena pemerintah kolonial Hindia Belanda sangat membatasi hubungan umat Islam Indonesia dengan Timur Tengah.
Tidak dapat disangkal bahwa pengaruh Timur Tengah sangat berperan dalam membangkitkan perlawanan ulama-ulama Islam terhadap kolonial Belanda sepanjang abad ke-19. Perang Paderi (1821–1837) di Minangkabau timbul setelah para haji pulang dari Makkah dengan membawa ide pembaharuan Wahhabi. Pengaruh Turki sangat jelas pada Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya dalam mengobarkan Perang Jawa (1825–1830). Pemberontakan rakyat Cilegon tahun 1888 dipimpin oleh para haji. Dan yang paling berat dihadapi Belanda adalah Perang Aceh (1873–1904) yang sangat diwarnai semangat keislaman melawan kaum kafir. Semua ini menyebabkan pemerintah Hindia Belanda memperketat persyaratan haji, sehingga para calon haji banyak memilih Singapura sebagai tempat transit.
Pada awal abad ke-20 Singapura menjadi pusat jaringan komunikasi gerakan modernisme Islam di Asia Tenggara. Meskipun kaum Muslimin di kota metropolitan itu hanya seperlima jumlah penduduk (mayoritas penduduknya adalah Tionghoa), suasana urban dengan segala fasilitasnya, terutama penerbitan buku-buku dan media massa, sangat menunjang tersebarnya faham modernisme Islam yang dicanangkan Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Timur Tengah. Apalagi kaum Muslimin di Singapura itu merupakan perpaduan berbagai etnis dari Sumatera, Semenanjung, Jawa, Bugis, Hindustan, dan Hadramaut. Dari Singapura ide-ide pembaharuan Islam tersebar baik melalui para haji yang singgah maupun melalui buku dan majalah yang diterbitkan di kota itu.

b. Minangkabau

Dalam perkembangan gerakan modernisme Islam di Indonesia, tidaklah dapat diabaikan peranan orang-orang Minangkabau. Di samping karena Minangkabau telah mengenal ide pembaharuan Islam sejak masa Perang Paderi, suku Minangkabau memiliki watak seperti suku Quraisy, yaitu senang mengembara (rihlata sy-syitaa’i wa sh-shaif), sehingga mereka terbiasa mengadakan kontak dengan dunia luar dan terbuka kepada ide-ide baru.
Menjelang akhir abad ke-19, seorang putra Minangkabau menjadi imam Masjid al-Haram di Makkah, yaitu Syaikh Ahmad Khatib al-Jawi al-Minankabawi (1840–1916). Dia banyak mempunyai murid yang datang dari tanah air, antara lain Ahmad Dahlan (1868–1923) yang kelak mendirikan Muhammadiyah serta Hasyim Asy`ari (1871–1947) yang kelak mendirikan Nahdhatul-`Ulama’.
Meskipun memegang teguh mazhab Syafi`i, Syaikh Ahmad Khatib tidaklah melarang para muridnya mempelajari ide-ide pembaharuan dari Jamaluddin, Abduh, dan Rasyid Ridha. Salah seorang murid Syaikh Ahmad Khatib adalah sepupunya, Syaikh Muhammad Tahir Jalaluddin (1869–1957), yang pada tahun 1893 sampai 1897 kuliah di Universitas Al-Azhar di Kairo dan menjadi sahabat akrab Rasyid Ridha. Ketika Rasyid Ridha menerbitkan Al-Manar tahun 1898, dia ikut menyumbangkan artikelnya. Syaikh Tahir pulang ke tanah air tahun 1899 dengan tekad menerbitkan majalah seperti Al-Manar di kawasan Asia Tenggara, agar gagasan modernisasi Islam lebih cepat tersiar di kalangan masyarakat.
Maka pada bulan Juli 1906 di Singapura terbitlah majalah bulanan berbahasa Melayu dengan nama Al-Imam: Majalah Pelajaran Pengetahuan Perkhabaran. Dengan Syaikh Tahir Jalaluddin sebagai pemimpin redaksi, majalah itu memuat artikel-artikel yang mengajak umat Islam untuk membuka pintu ijtihad dan mempelajari ilmu-ilmu modern, serta terjemahan artikel-artikel dari majalah Al-Manar. Majalah ini terbit sebanyak 31 nomor dan berhenti tahun 1909 lantaran kehabisan dana. Gagasan modernisasi Islam yang disebarkan Al-Imam ternyata lebih bergaung di Indonesia, terutama Sumatera dan Jawa, daripada di Malaysia. Hal ini disebabkan pengaruh para sultan dan mufti kerajaan sangat kuat di Malaysia, sehingga ide-ide pembaharuan yang dianggap menggoyahkan kedudukan mereka sulit untuk tersebar.
Sementara itu beberapa orang murid Syaikh Ahmad Khatib di tanah suci pulang ke Minangkabau, yaitu Muhammad Jamil Jambek (1860–1947), Muhammad Thaib Umar (1874–1920), Abdullah Ahmad (1878–1933), dan Abdulkarim Amrullah (1879–1945). Setelah majalah Al-Imam berhenti terbit, timbul niat di kalangan mereka berempat untuk menerbitkan majalah semacam itu di Minangkabau. Maka pada tanggal 1 April 1911 terbit majalah Al-Munir di Padang, dengan Abdullah Ahmad sebagai pemimpin redaksi. Inilah majalah modernisasi Islam yang pertama di Indonesia. Sebingkai sya’ir yang ditulis Muhammad Thaib Umar dalam Al-Munir mencerminkan tujuan majalah ini: "Satu dua tiga dan empat, hendaklah pelajari segera cepat, membaca buku supaya sempat, ilmu pengetahuan banyak didapat. Jangan seperti orang tua kita, menuntut ilmu hanya suatu mata, fiqh saja yang lebih dicinta, kepada yang lain matanya buta”.
Selama lima tahun usianya majalah Al-Munir beredar di seluruh Indonesia, terutama di Sumatera dan Jawa. Artikel-artikel majalah ini mengeritik praktek-praktek keagamaan yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta menganjurkan umat Islam menata metode dan sarana pendidikan. Tidaklah mengherankan jika daerah Minangkabau mempelopori sekolah-sekolah agama yang menerapkan sistem kurikulum modern. Pada tahun 1909 Abdullah Ahmad mendirikan Sekolah Adabiyah di Padang, lalu Abdulkarim Amrullah mendirikan Surau Jembatan Besi tahun 1914 di Padang Panjang. Setahun kemudian Padang Panjang juga memiliki Sekolah Diniyah Putri yang didirikan oleh Zainuddin Labai (1890–1924) dan adiknya, Rahmah al-Yunusiyah (1900–1969). Kemudian Surau Jembatan Besi bergabung dengan Surau Parabek, yang didirikan tahun 1908 oleh Ibrahim Musa (1882–1963), menghasilkan sekolah Sumatera Thawalib tahun 1918.

c. Masyarakat Arab
Semangat modernisasi Islam mengalir pula ke Pulau Jawa. Masyarakat Arab di Jakarta mendirikan organisasi Jam`iyat al-Khair tahun 1901, akan tetapi baru memperoleh izin resmi dari pemerintah Hindia Belanda tanggal 17 Juli 1905. Organisasi ini membangun sekolah-sekolah modern di beberapa kota, dan keanggotaannya terbuka bagi orang-orang Muslim pribumi. Jam`iyat al-Khair aktif mendatangkan guru-guru dari Timur Tengah, antara lain Syaikh Ahmad Surkati (1872–1943) dari Sudan. Ahmad Surkati yang merupakan penganut faham Muhammad Abduh ini tiba di Jakarta pada bulan Maret 1911.
Setelah aktif di Jam`iyat al-Khair, Ahmad Surkati menyadari bahwa organisasi ini terlalu didominasi oleh kaum sayyid yang berpikiran sempit. Maka pada tanggal 6 September 1914 (15 Syawwal 1332) Ahmad Surkati mendirikan organisasi Jam`iyah al-Ishlah wal-Irsyad. Organisasi yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Irsyad ini segera berkembang dan memiliki cabang-cabang di Cirebon, Tegal, Pekalongan, Surakarta, Surabaya, dan beberapa kota lainnya di Jawa.

d. Muhammadiyah

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa organisasi pembaharuan dan modernisasi Islam yang terbesar adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868–1923). Semasa kecil bernama Muhammad Darwis, Ahmad Dahlan menjabat khatib mesjid kesultanan Yogyakarta dengan julukan “Ketib Amin”. Sejak remaja Ahmad Dahlan sudah membaca majalah Al-`Urwah al-Wutsqa yang diselundupkan ke Jawa. Pada tahun 1890 Ahmad Dahlan menjadi murid Syaikh Ahmad Khatib di Makkah, dan tahun 1903 dia sengaja ke Makkah lagi untuk bermukim selama dua tahun. Ahmad Dahlan makin akrab dengan gagasan modernisasi Islam, bahkan sempat berkenalan dengan Muhammad Rasyid Ridha. Setelah pulang ke Yogyakarta, Ahmad Dahlan membina hubungan yang baik dengan para tokoh pembaharu di Minangkabau, terutama dengan Abdulkarim Amrullah yang terkenal dengan sebutan “Haji Rasul”. Anak Haji Rasul, Abdul Malik, dan menantu Haji Rasul, Ahmad Rasyid, kelak menjadi tokoh-tokoh Muhammadiyah, masing-masing populer dengan nama Hamka dan A.R.Sutan Mansur.
Pada dasawarsa pertama abad ke-20 di Jawa berdiri tiga organisasi. Selain Jam`iyat al-Khair yang dipelopori masyarakat Arab, tumbuh pula dua organisasi pribumi, yaitu Budi Utomo tahun 1908, serta Sarekat Islam tahun 1911. Ahmad Dahlan menjadi anggota yang aktif dari ketiga organisasi tersebut. Akan tetapi dia merasa perlu mendirikan suatu organisasi yang benar-benar berorientasi kepada gerakan modernisme Islam. Ahmad Dahlan menilai Budi Utomo tidak memperjuangkan Islam, sedangkan Sarekat Islam dilihatnya menjurus ke bidang politik. Dalam suatu pertemuan antara Ahmad Dahlan dan Ahmad Surkati, kedua tokoh ini sepakat untuk berbagi tugas dengan masing-masing mendirikan organisasi: Ahmad Surkati menghimpun masyarakat Arab dan Ahmad Dahlan menghimpun masyarakat pribumi.
Maka pada hari Senin Legi tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330), Kyai Haji Ahmad Dahlan mendirikan organisasi yang diberi nama Muhammadiyah, yang berarti “penegak ajaran Nabi Muhammad”. Organisasi ini berlambang matahari yang dihiasi dua kalimat syahadat, persis seperti hiasan gambar matahari di pintu Ka`bah! Dengan lambang matahari, diharapkan Muhammadiyah menjadi sumber energi yang senantiasa bersinar untuk menerangi umat Islam di Indonesia. Menurut Ahmad Dahlan, organisasi Muhammadiyah merupakan realisasi firman Allah “hendaklah ada dari kalanganmu suatu kelompok” (waltakun minkum ummah) yang berfungsi ganda, yaitu “mengajak kepada kebaikan” (yad`uuna ila l-khair) sebagai fungsi eksternal, serta “memerintahkan yang ma`ruf dan mencegah yang mungkar” (ya’muruuna bi l-ma`ruuf wa yanhauna `ani l-munkar) sebagai fungsi internal. Itulah sebabnya Ahmad Dahlan merumuskan dua butir tujuan Muhammadiyah:
a.       memadjoekan dan menggembirakan peladjaran dan pengadjaran agama Islam; serta
b.      memadjoekan dan menggembirakan hidoep sepandjang kemaoean agama Islam dalam kalangan sekoetoe-sekoetoenja.
Sejak kelahirannya Muhammadiyah telah menetapkan garis perjuangan (khittah) untuk bergerak di bidang da`wah, sosial, dan pendidikan. Dengan semboyan “sedikit bicara banyak bekerja” serta “siapa menanam dia mengetam”, Ahmad Dahlan bertujuan memurnikan ajaran Islam dari apa yang disebutnya T.B.C. (tachajoel, bid`ah, choerafat). Muhammadiyah mempelopori penentuan arah kiblat secara eksak; penggunaan metode hisab untuk menentukan awal dan akhir puasa Ramadhan; shalat hari raya di lapangan; pengumpulan dan pembagian zakat fitrah dan daging kurban kepada fakir miskin; pemberian khutbah dalam bahasa yang difahami jemaah; pelaksanaan shalat Jum`at dan tarawih yang sesuai dengan cara Nabi; penghilangan bedug dari mesjid; penyederhanaan upacara kelahiran, khitanan, perkawinan, dan pengurusan jenazah; serta masih banyak lagi usaha-usaha Muhammadiyah yang mengembalikan umat Islam kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Di bidang sosial dan pendidikan Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah, panti asuhan, dan poliklinik. Agar kaum wanita terangkat derajatnya, Ahmad Dahlan dan istrinya, Siti Walidah (Nyi Haji Ahmad Dahlan), mendirikan perkumpulan Sopotresno tahun 1914, yang diubah namanya menjadi Aisyiyah pada tahun 1917. Kemudian berdiri pula kepanduan Hizbul Wathan tahun 1918, di samping perkumpulan Siswapraja Wanita dan Siswapraja Pria sebagai wadah anak-anak muda, yang kemudian masing-masing menjadi Nasyi’atul-Aisyiyah tahun 1931 dan Pemuda Muhammadiyah tahun 1932.
Sampai tahun 1920 organisasi Muhammadiyah dimatangkan di Yogyakarta dan sekitarnya. Sesudah itu Muhammadiyah mulai menyebar dan mendirikan cabang-cabang di beberapa kota: Surakarta (1920), Surabaya dan Madiun (1921), serta Pekalongan, Garut dan Jakarta (1922). Setelah Kyai Haji Ahmad Dahlan wafat tahun 1923, kepemimpinan Muhammadiyah dipegang oleh sahabatnya, Kyai Haji Ibrahim, yang memimpin organisasi sampai tahun 1932. Pada periode K.H.Ibrahim ini Muhammadiyah menyebar ke luar Jawa: Sumatera (1925), Kalimantan (1927), dan Sulawesi (1929).
Demikianlah akhirnya Muhammadiyah tersebar di seluruh Nusantara, sehingga dalam Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang bulan Juni 1933 dengan bangga Pimpinan Pusat (Hoofdbestuur) melaporkan bahwa “Moehammadijah-lah persjarikatan jang pertama-tama banjak tjabang dan groepnja, tersiar moelai dari Sabang sampai Merauke dan dari Teloekbetoeng sampai Manado dan Ternate”.
Muhammadiyah merupakan gerakan modernisme Islam yang mempunyai dampak paling luas di Indonesia. Pada mulanya organisasi ini mendapat tantangan dan hambatan, terutama dari kaum adat dan ulama tradisional. Muncul tuduhan bahwa Muhammadiyah menyimpang dari garis “ahlus-sunnah wal-jama`ah”. Akan tetapi lambat laun masyarakat menyadari bahwa modernisasi memang suatu keharusan. Kegiatan Muhammadiyah yang dahulu dicela kini ditiru diam-diam. Sekolah-sekolah modern yang dahulu menjadi tuduhan kepada Muhammadiyah “meniru Belanda” terpaksa didirikan orang juga. Kepanduan yang dahulu dianggap “tasyabbuh” (menyerupai orang kafir) di mana-mana telah tumbuh. Golongan-golongan yang dahulu menghambat langkah Muhammadiyah akhirnya tidak mendapat jalan lain kecuali meniru jejak Muhammadiyah.
Sejak mulai berdiri Muhammadiyah bukanlah organisasi politik. “Tidak mencampuri politik”, itulah politiknya! Ia semata-mata gerakan da`wah. Akan tetapi tidaklah dapat dinafikan pengaruh Muhammadiyah dalam perjuangan bangsa. Sebagai satu-satunya organisasi di zaman kolonial yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke, maka kongres-kongres Muhammadiyah yang berlangsung setiap tahun sangat berperan dalam membina persatuan nasional. Apalagi bahasa Melayu selalu digunakan dalam kongres-kongres tersebut, meskipun bahasa Melayu saat itu belum dikukuhkan sebagai Bahasa Indonesia. Perjuangan di bidang politik banyak diisi oleh orang-orang Muhammadiyah, meskipun Muhammadiyah sebagai organisasi tidak berpolitik praktis. Cukuplah di sini disebutkan bahwa ketika Republik Indonesia lahir tahun 1945 jabatan-jabatan strategis di negara ini dipegang oleh “orang Muhammadiyah”, yaitu Presiden Sukarno, Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman, Jaksa Agung Kasman Singodimedjo, serta Menteri Agama Muhammad Rasyidi. Beberapa tokoh Muhammadiyah ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, yaitu Kyai Haji Ahmad Dahlan, Nyi Haji Siti Walidah Ahmad Dahlan, Kyai Haji Fachruddin, dan Kyai Haji Mas Mansur.

e. Persatuan Islam


Pembicaraan mengenai gerakan modernisme Islam tidaklah lengkap apabila kita mengabaikan sebuah organisasi pembaharuan yang bersifat “cabe rawit”: kecil tetapi pedas! Itulah organisasi Persatuan Islam (Persis) yang didirikan di Bandung tanggal 17 September 1923 (5 Safar 1342) oleh ulama asal Palembang, Kyai Haji Zamzam (1894–1952), yang juga pernah bertahun-tahun menuntut ilmu keagamaan di Makkah. Seperti Muhammadiyah dan Al-Irsyad, Persatuan Islam juga menyatakan sebagai penerus gerakan pembaharuan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Kelahiran organisasi ini dilandasi firman Allah “berpegang-teguhlah kepada tali Allah bersama-sama dan janganlah bercerai-berai” (wa`tashimuu bi hablil-laahi jamii`an wa laa tafarraquu) serta sabda Nabi “tangan Allah bersama orang-orang yang mengelompok” (yadu l-laahi ma`a l-jama`ah).
Tokoh Persatuan Islam yang terkenal adalah Ahmad Hassan (1887–1958). Lahir dan besar di Singapura, Ahmad Hassan sejak remaja sudah mengenal gagasan pembaharuan yang disebarkan majalah Al-Imam. Dia banyak menulis artikel mengenai keharusan umat Islam kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pada tahun 1921 Ahmad Hassan pindah ke Surabaya, daerah asal ibunya. Di sini dia menjadi akrab dengan Ahmad Surkati. Kemudian pada tahun 1925 Ahmad Hassan pindah ke Bandung, menjadi anggota Persatuan Islam tahun 1926, dan segera menjadi tokoh yang mewarnai corak dan gaya organisasi itu, yaitu keras, konsisten, dan tidak mengenal kompromi.
Ahmad Hassan berpendapat bahwa pintu ijtihad harus dibuka dengan cara shock therapy, sehingga umat Islam terbangun dari tidur lelap. Jika Muhammadiyah mengutamakan aksi-aksi sosial melalui sekolah, rumah sakit dan panti asuhan, maka Persatuan Islam mengutamakan da`wah lisan dan tulisan, seperti memperbanyak tabligh, menerbitkan buku dan majalah, menyelenggarakan debat publik, dan berpolemik di media massa. Buku-buku dan majalah yang diterbitkan Persatuan Islam menjadi bahan rujukan bagi kaum modernis di Indonesia, terutama majalah Pembela Islam dan Al-Lisan. Demikian pula seri buku Soe’al Djawab karya Ahmad Hassan tersebar di seluruh Indonesia dan Malaysia.
Pada tahun 1940 Ahmad Hassan pindah ke Bangil sampai ia wafat tahun 1958, meskipun pusat Persatuan Islam tetap di Bandung. Ahmad Hassan banyak meninggalkan karya berupa buku-buku yang sampai kini terus dicetak ulang, misalnya Tafsir Al-Furqan, Pengajaran Shalat dan terjemahan Bulughul-Maram. Murid-murid Ahmad Hassan tersebar di mana-mana. Salah seorang muridnya yang cemerlang adalah Mohammad Natsir (1908–1993), siswa AMS di Bandung yang menjadi aktivis Persatuan Islam, dan kelak menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia serta tokoh yang terkenal di Dunia Islam. Bahkan Bung Karno pun mengaku sebagai murid Ahmad Hassan, sebagaimana tertulis pada “Surat-surat Islam dari Ende” dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi.

f. Kaum Tradisionalis
Munculnya gerakan modernisme menyebabkan para pengamat keislaman membagi umat Islam Indonesia menjadi dua kelompok, yaitu kaum modernis dan kaum tradisionalis. Yang disebut terakhir ini pada garis besarnya mempunyai tiga ajaran utama. Pertama, menganut mazhab Muhammad ibn Idris asy-Syafi`i (767-820) dalam masalah hukum agama, dengan tidak mengesampingkan mazhab Abu Hanifah (700–767), mazhab Malik ibn Anas (711–795), dan mazhab Ahmad ibn Hanbal (780–855). Kedua, menganut skolastisisme Abu Hasan al-Asy`ari (873–935) dan Abu Mansur al-Maturidi (896–944) dalam masalah ketuhanan. Ketiga, menganut ajaran Abul-Qasim al-Junaidi (828–910) dan Abu Hamid al-Ghazali (1058–1111) dalam masalah tasawuf. Kaum modernis pada umumnya tidak merasa terikat pada ajaran pertama dan ketiga, sedangkan faham Asy`ariyyah diterima dalam bentuk seperlunya saja.
Kaum tradisionalis di Indonesia juga terstimulasi untuk membentuk organisasi. Pada tahun 1917 K.H. Abdul Halim di Majalengka mendirikan Persyarikatan Ulama (sejak 1952 bernama Persatuan Umat Islam atau PUI). Lalu pada 31 Januari 1926 (17 Rajab 1344) di Surabaya lahir Nahdlatul-`Ulama (NU) yang didirikan K.H. Hasyim Asy`ari (1871–1947). Kemudian menyusul dua organisasi di Sumatera, yaitu Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Minangkabau pada tanggal 5 Mei 1928 (15 Dzulqa`dah 1346), serta Jam`iyyah al-Washliyyah di Medan pada tanggal 30 November 1930 (9 Rajab 1349). Semua organisasi kaum tradisionalis ini mempertahankan mazhab Syafi`i

g. Fa aina tadzhabun ?
Kemajuan sains dan teknologi mengantarkan umat manusia memasuki abad ke-21 dengan segala persoalan yang multikompleks, seperti pencemaran lingkungan, menipisnya sumber daya alam, ledakan jumlah penduduk, kesenjangan sosial, serta pembauran kultural akibat canggihnya informasi dan komunikasi. Semua ini memiliki dampak terhadap pemahaman agama oleh umat manusia, termasuk umat Islam. Tidaklah dapat dihindari kemungkinan untuk melakukan reinterpretasi (penafsiran ulang) terhadap pemahaman ajaran agama yang selama ini dianggap baku.
Gerakan-gerakan modernisme Islam oleh beberapa pengamat dinilai telah kehilangan semangat pembaharuannya, karena terlalu sibuk mengelola amal usaha dan kegiatan rutin lainnya, sehingga kurang tanggap terhadap masalah-masalah baru yang dihadapi umat Islam. Terlepas dari benar atau tidaknya anggapan tersebut, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Al-Irsyad, dan gerakan sejenisnya yang terlanjur dijuluki “kaum pembaharu” hendaknya lebih meningkatkan ijtihad dalam merespons tantangan abad ke-21 yang makin rumit dan tidak terduga arahnya.